Tanggal 8 Oktober 2025 kemarin, pukul 09.00 pagi waktu Brazil (atau 20.00 malam di Banjarmasin, Kalsel), aku bergabung dalam webinar ClimaColab—sebuah sesi lintas zona waktu yang terasa hangat dan penuh semangat untuk membahas COP30.
Bagi yang belum tahu, COP adalah singkatan dari Conference of the Parties—konferensi tahunan tempat negara-negara ngobrolin masa depan iklim. Konferensi akan datang ini merupakan pertemuan ke-30 negara-negara dalam kerangka Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). COP30 akan berlangsung pada 10–21 November 2025 di Belém, Pará, Brasil.
Pada webinar kemarin, hadir para pemateri dan peserta dari berbagai latar belakang, seperti influencer kreator konten lingkungan Brazil, jurnalis, aktivis, dan kami para blogger Indonesia yang mewakili Eco Blogger Squad.
Nina Marcucci membuka sesi dengan refleksi penuh energi tentang perjalanan kampanye iklim. Cinthia Leone dari ClimaInfo membedah COP30 dengan wawasan mendalam. Rafael de Pino mengajak kami berpikir strategis soal komunikasi publik. Selain itu adala Laila Zaid, influencer iklim, menyuntikkan semangat kolaborasi di akhir sesi.
Webinar ini menjadi ruang belajar lintas budaya yang mengajak kita jadi bagian dari gerakan komunikasi iklim yang lebih adil dan berdampak.
Kamus COP30 yang Perlu Kita Ketahui
Di sana, tiap negara bawa NDC (Nationally Determined Contribution) alias janji pengurangan emisi masing-masing. Indonesia, misalnya, berkomitmen turunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% secara mandiri.
Tapi janji aja enggak cukup. Kita juga butuh transisi adi, yaitu perubahan menuju energi bersih yang enggak ninggalin siapa pun. Artinya, petani, pekerja tambang, komunitas adat, dan segala yang terlibat harus diajak bicara. Jadi, yuk pahami dampak kerusakan iklim, dan ikut bersuara. Karena iklim bukan cuma urusan diplomat, tapi juga tentang nasi di piring kita dan udara yang kita hirup tiap hari.
Kenapa COP30 Penting untuk Kita?
COP30 bakal digelar di Belém, Brasil, jauh di sana, tapi dampaknya bisa terasa sampai ke Kalimantan, bahkan ke dapur kita sendiri lho. Ini bukan sekadar konferensi elit, tapi momen dunia buat menentukan arah masa depan iklim.
Di tengah banjir info (dan disinformasi), kita butuh pemahaman yang jernih, bukan kebingungan atau sikap tidak peduli. COP30 mungkin terdengar hanya menjadi urusan diplomatis, tapi mereka punya arti besar buat komunitas lokal, petani, dan anak-anak kita nanti.
COP30 juga jadi panggung buat melawan greenwashing, kampanye “hijau” yang cuma pencitraan. Jadi, yuk ikut terlibat: pahami istilahnya, kritisi narasinya, dan bantu wariskan harapan lewat konten, obrolan, atau aksi kecil.
Dari Belém ke Borneo: Refleksi Lokal-Global
Amazon dan Kalimantan itu kayak kembar beda benua, sama-sama memiliki hutan sebagai paru-paru dunia, sama-sama rumah bagi jutaan makhluk hidup. Tapi hutan bukan cuma soal pohon. Di dalamnya ada komunitas adat yang sudah lama jadi penjaga alam, jauh sebelum istilah “konservasi” jadi tren.
Nah, di COP30, dunia bakal bahas perlindungan hutan, keanekaragaman hayati, dan hak komunitas lokal. Ini bukan cuma urusan Brasil, tapi juga kita di Indonesia dan seluruh dunia tentunya. Kita punya peran penting: mendukung gerakan lokal, menyuarakan keadilan ekologi, dan menjaga warisan hijau buat generasi selanjutnya. Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang jaga napas bumi?
Menyaring Disinformasi & Greenwashing
Di era scroll tanpa henti, disinformasi soal iklim menyelinap lewat konten yang kelihatan “niat”, padahal menyesatkan. Banyak yang menyederhanakan krisis iklim jadi sekadar cuaca ekstrem, atau malah bilang “enggak separah itu.”
Di sisi lain, ada greenwashing: strategi perusahaan (terutama industri fosil) buat tampil “hijau” lewat iklan atau endorse influencer, padahal praktiknya tetap merusak, huhu.
Contohnya? Iklan bahan bakar fosil yang bilang “lebih bersih” tanpa transparansi soal emisi, atau kampanye “ramah lingkungan” yang cuma ganti kemasan, bukan sistem.
Di COP30, isu ini mulai digugat. Dunia mulai bicara soal pelarangan iklan bahan bakar fosil, langkah berani yang mirip regulasi rokok. Karena kalau rokok bisa dilarang iklannya demi kesehatan, kenapa iklan yang merusak iklim dibiarkan enggak sih? Saatnya kita jeli, kritis, dan berani bersuara. Karena bumi enggak butuh pencitraan, tapi perubahan.
Indonesia dan Keadilan Iklim
Di tengah gema global mengenai transisi energi dan kebutuhan akan mineral kritis seperti nikel, sebuah cerita pilu datang dari jantung Halmahera Timur, Maluku Utara. Kasus kriminalisasi terhadap 11 warga masyarakat adat Maba Sangaji menjadi cermin nyata dari paradoks pembangunan: kemajuan energi bersih dunia seringkali dibayar mahal dengan kerusakan lingkungan dan penindasan hak-hak lokal.
Masyarakat adat Maba Sangaji, yang hidupnya bergantung pada kelestarian hutan dan sungai, terpaksa angkat bicara dan memprotes aktivitas tambang nikel PT Position yang dituding merusak sumber kehidupan mereka.
Namun, respons yang mereka terima jauh dari perlindungan. Sebaliknya, 11 warga ini ditangkap dan dijerat pasal berlapis—mulai dari Undang-Undang Minerba hingga tuduhan pemerasan—hanya karena mempertahankan tanah leluhur mereka.
Kasus ini bukan sekadar sengketa lahan biasa. Ini adalah pertarungan antara janji iklim global melawan keadilan ekologis lokal. Di satu sisi, dunia membutuhkan nikel untuk baterai kendaraan listrik. Di sisi lain, perjuangan rakyat Maba Sangaji menunjukkan bahwa ambisi hijau ini tidak boleh mengorbankan lingkungan dan hak asasi manusia.
Dari Webinar ke Aksi Nyata
Di sesi ClimaColab, para kreator konten dan blogger diajak bukan cuma paham COP30, tapi juga jeli membaca lanskap misinformasi dan greenwashing yang makin tidak terarah.
Iklim bukan sekadar topik trending, tapi medan komunikasi yang butuh strategi, empati, dan keberanian. Sebagai kreator, kita punya peran penting: menyebarkan literasi iklim, melawan narasi palsu, dan membangun ruang digital yang reflektif untuk siapa saja. Semoga saja, di COP30, isu mengenai keadilan iklim di Indonesia juga menemukan solusinya.
COP30 bukan akhir, tapi titik awal gerakan kolektif. Jadi, mari kita wariskan sesuatu yang tak terlihat tapi terasa: konten yang menggerakkan, obrolan yang menyadarkan, dan aksi kecil yang menular. Mari wariskan harapan dengan mendukung COP30 untuk masa depan.
Sumber artikel:
https://kemenlh.go.id/news/detail/wamen-lh-tegaskan-posisi-indonesia-jelang-cop-30-harus-siap-pimpin-agenda-iklim-global
https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/siaran-pers/bebaskan-11-orang-masyarakat-adat-pemrotes-tambang-nikel-di-halmahera-timur/05/2025/
https://www.instagram.com/reel/DOVJMJGgJOA/

.png)




Posting Komentar
Sebaiknya jangan anonim agar bisa saling mengunjungi ...
Komentar muncul setelah dimoderasi.
Terima kasih telah membaca dan berkomentar 😊
Salam kenal ...